Wednesday, November 9, 2016

Mereka Mungkin Tahu Tapi Tidak Ada Pilihan



Sore lalu saya tengah bercengkrama dengan kakak saya yang paling baik sedunia, Karen. sisa Sinar mentari masih menyengat hampir terlingsir ke timur kaki langit. Awan-awan bergemantung dibawah angkasa. Indah.
Memang pemandangan senja sangat indah sekali. Banyak hal-hal yang berkesan terjadi saat senja menjemput. Miliaran manusia yang berjejal di bumi ini, bukankah diantara miliaran manusia tersebut masih ada orang yang mengukir harapan indah indah saat senja ataupun mendapatkan lembar kenangan di saat senja? Sungguh sedap menyimak orang-orang yang baru saja mendapatkan kasih kebahagiaan saat senja menjemput dengan sinar lembayung yang amat memukau mata.


Sayangnya, tak lama kemudian tumpukan awan-awan tersebut menjadi awan-awan kelabu. Awan-awan yang barangkali akan merusak pemandangan senja. Awan kelabu yang hanya akan membuat orang-orang bersedih. Kecewa bukan main, mereka yang hidup dibelahan dunia lain juga mungkin menyesalkan awan-awan yang telah menutup langit senja. Menyesakkan hati mereka.

Karen tengah termangu di atas sebuah kursi antik yang turun-temurun dari keluarga kami. Saya tak pernah tahu siapa orang pertama yang mempunyai kursi antic tersebut hingga akhirnya sampai di tangan keluarga kami. Hanya sedikit kisah yang saya dapatkan tentang nenek-nenek terdahulu. Tak banyak menyisakan lembar fotografi yang membuat saya dapat cukup mengenal mereka.

Seharian ini, kami cukup merasa kesal dengan orang-orang yang benar-benar baik dan orang jahat yang sangat sulit dibedakan. Seperti senja ini, tak ada yang tahu bilamana tiba-tiba tumpukan awan kelabu menyaput langit senja. Terbawa oleh tiupan angin yang bersiru. Bahkan, salah satu kasus yang pernah kami lihat adalah tetangga kami sendiri. Tengoklah, tanyakanlah pada tetangga kanan-kirinya mengenai siapa yang menjadi pembohong ulung? Maka dengan mengangkat alis mereka akan meneriaki namanya.

Bagaimana tidak dia telah membohongi kedua orangtua dengan memakai uang saku untuk memenuhi gaya hedon yang selama ini dianutnya. Hingga menyebabkan keluarganya jatuh miskin. Tak bisa dipungkiri memang bahwa trik-trik kebohongannya selalu mempuni. Kendati demikian, lebih parahnya dia sering sekali menyelinap ke relung-relung pikiran orangtuanya. Menyelipkan kalimat untuk mempengaruhi pikiran mereka agar cepat melupakan kejadian yang pernah berlalu.

Karen sejak tadi mengamati rumah wanita yang telah menjadi pembohong ulung di kampung. Baiklah, saya juga cukup bosan membicarakan wanita picik itu. Sempurna awan kelabu menutup sinar jingga senja. Burung manyar segera berlari kencang-kencang. Bergegas membuat sarang yang nyaman. Tak perduli telah merusak lahan orang.

“Dia memang pembohong yang cukup besar.” Karen mendesis. Membuang muka. Malas.

Saya masih terdiam disamping kakak saya. Yang membuat saya semakin sebal dengan dunia yang sekarang adalah pembohong ulung macam dia masih saja diberikan kemudahan dalam melakukan kejahatan. Bahkan saudara-saudaranya juga menjadi akibat dari kelakuan bergajulannya. Siapa yang perduli? Bahkan wanita itu tidak perduli lagi dengan nasib saudara-saudaranya setelah menjadi akibat dari perbuatannya.

Bertahun-tahun berlalu dengan cepat, wanita itu tidak pernah menyadari bahwa perekonomian keluarganya yang tengah sekarat adalah karena ulahnya yang terus-terusan meminta uang untuk memenuhi keinginannya. Saya memang cukup mengerti dengan dunia yang sudah salah kaprah ini. Bagaimana tidak, wanita itu walaupun setiap hari menguntai kebohongan, dia masih dipuja oleh orang-orang yang telah menjadi korban bualan busuknya. Seakan menjadi korban, dia berbalik arah menyalahkan saudara-saudaranya.

Ya Tuhan, kapan Engkau akan membinasakan dan memberikan pelajaran bagi orang-orang yang berbuat aniaya tersebut?

 Langit semakin sempurna saja. Tumpukan awan akhirnya memuntahkan seluruh isinya. Liar. Angin datang bersiru. Pohon melambai.

Karen beringsut masuk. Malas membicarakan wanita tadi. Pembohong ulung yang gila kehormatan maupun pujian.

No comments:

Post a Comment