Friday, December 9, 2016

Rumah Anak-anak itu



Akhir-akhir ini berita mengenai kekerasan terhadap anak memang tengah mencuat di berbagai media massa. Bahkan kekerasan itu dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi mereka, mengkasihi mereka, dan menebar kebaikan-kebaikan lainnya. Bukannya malah mengancam nyawa mereka. Lebih parahnya lagi sebagian besar kasus kekerasan terhadap anak adalah karena ketidaksiapan orangtua untuk mengasuh anak.
Berkali-kali pula Karen memencet remote, mengganti saluran teve karena sebagian besar headlines berita hanya terus-terusan menayangkan kasus kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh orangtua kandung terhadap anak-anak yang menjadi korban. Hanya sekadar menangis minta dibelikan apa, tapi tak menolaknya dengan baik, justru dengan tega atau mungkin kesadaran minim, para orangtua akhirnya memukul dan melakukan tindakan kekerasan lainnya.
Bukan hanya kasus kekerasan terhadap anak semata, persoalan lain adalah para orangtua yang belum siap memiliki anak. Untuk kemudian, anak-anak malang tak berdosa itu terbuang didalam bendar, pematang sawah, pinggir jalan ataupun tempat lain yang dianggap aman untuk melakukan aksi gilanya itu.
Saya sangat mengerti bahwa anak-anak tak berdosa yang menjadi korban keegoisan orangtua memang sangat teriris hatinya bila mengetahui kenyataan pahit ini. Kenyataan mengapa mereka dilahirkan dari rahim seorang ibu yang hatinya telah mati. Rasa sayangnya telah hilang. Orang-orang yang barangkali sudah tidak menakutkan tentang adanya hukum tertinggi yang lebih berkuasa.
Tak ada yang bisa memilih dari rahim seorang wanita mana anak-anak itu. Tapi, satu-dua dari anak-anak yang menghuni sebuah panti pernah berkali bertanya pada langit. “Apa hidup ini adil untuknya?” Langit tak bergeming. Tak memberikan jawaban tepat yang bisa menjelaskan kehidupan yang amat berat diterimanya.
Maka tanyakanlah pada miliaran manusia yang menjadi penerus kehidupan sejak ribuan tahun lalu “Jika kalian diberikan kesempatan untuk memilih, wanita seperti apakah yang berhak melahirkan kalian?” maka mereka akan berteriak “wanita yang akan memberikan kasih sayang utuh pada anak-anak.” Sayang hanya sebuah stereotypes yang mengatakan bahwa seorang ibu adalah orang yang melindungi anak.
Buktinya banyak kekerasan yang terjadi pada anak berasal dari orangtua KANDUNG mereka.
Pembuangan bayi-bayi tak berdosa tersebut tak ubahnya berasal dari pergaulan yang semakin keblabasan bebasnya. Bolehlah, mereka meniru orang-orang barat. Tapi, kasus pembuangan bayi-bayi tak berdosa? Ya Tuhan, kenapa Kau menciptakan orangtua yang seperti itu? Orangtua yang akan membuat hidup anak-anak tak berdosa itu akan dipenuhi oleh pertanyaan.
“Sial, tidakkah setiap hari berita-berita ini tidak menyajikan kekerasan yang dilakukan oleh orangtua jahat?” Karen mendengus marah.
“Bisa! Kalau para orangtua jahat itu dihilangkan dari dunia ini. Mudah bukan urusan setelah itu ? Berita nasional tidak akan dipenuhi oleh kekerasan terhadap anak lagi. Tapi setidaknya kemungkinan besar berita akan diisi oleh intrik politik yang semakin membingungkan. Membuat lelah dimata.” ujarku setengah bergurau.
Mungkin jalan itu memang dianggap para orangtua jahat sebagai jalan terbaik untuk mereka. Keliru sekali. Justru mereka akan menambah beban pikiran anak-anak tak berdosa dimasa mendatang. Pergolakan batin yang menikamnya begitu lengket akibat pertanyaan tentang siapa orangtua mereka.
Kumparan awan menghias langit biru. Beberapa kali menyaput mentari. Membuat sejuk sejenak. Ah tidak juga, bahkan kami tengah kepanasan menyimak anak-anak yang tengah nangkring di bahu jalan. Mencari orang-orang yang mau berbelas kasih dengan mereka. Tapi, lebih banyak yang membuang mereka. Barangkali mereka terlanjur sebal saat menerka-nerka kenapa orangtua mereka tega membiarkan mereka mencari belas kasih dari banyak orang.
Saya benar-benar tidak tahu kenapa perasaanku kali ini berbicara bahwa aku harus mengunjungi panti asuhan di kota. Tempat para anak-anak kurang beruntung tertampung. Syukur-syukur mereka memiliki pengasuh yang aduhai baiknya, pasti mereka akan dengan cepat melupakan kenyataan pahit yang ada diseperlintasan kehidupan mereka. Lagi-lagi, kenapa langit benar-benar tidak membumihanguskan para orangtua jahat itu? Orangtua yang dengan tega membuang bayi tak berdosa dan masih kedinginan berada didunia. Membutuhkan rengkuhan hangat. Bukankah beres sudah bilamana langit menghilangkan mereka dari dunia ini? Maka berbahagialah anak-anak itu karena memiliki orangtua yang amat baik dan melindungi mereka selamanya.
Karen dan Saya, memang belum pernah sekalipun mendatangi panti itu. Hanya sekilas terlihat dijalan. Hanya lewat. Tak pernah mampir sekalipun. Pun dengan Karen, tiba-tiba hatinya juga mengatakan bahwa ia harus mengunjungi anak-anak panti. Anak-anak yang kurang beruntung. Satu-dua barangkali, panti itu menampung anak-anak yang masih melihat orangtua mereka hingga takdir pahit itu memisahkan mereka. Selebihnya panti itu menampung anak-anak yang dibuang oleh para orangtua yang hatinya telah mati. Menggurat kesedihan setiap malam dalam kesendirian.
Saling bertanya pada anak-anak lain “Apakah kalian termasuk anak-anak yang menjadi korban keegoisan orangtua?”
Anak laki-laki yang tengah menjejer mobil-mobilan itu seharusnya memang lebih cocok menggurat aura wajah bahagia, tapi lihatlah, tangannya memang tengah memainkan asyik mobil-mobilan tersebut. Tapi wajahnya tidak bisa berbohong bahwa dia benar-benar terjerat kesedihan yang mendalam. Kantung mata yang semakin terlihat jelas dikedua mata mereka.
Karen mendekati. Mensejajari posisi duduk anak laki-laki tersebut.
“Hai, apa kami boleh duduk disini?” Karen mulai bertanya pelan.
Anak laki-laki itu hanya menatap datar. Tanpa bersuara sedikitpun. Saya menarik napas dalam. Lebih-lebih karena tidak kuat melihat pemandangan menggetirkan diwajah anak laki-laki ini.
Anak-anak lainnya langsung mengerumuni kami bagaikan orang asing. Menatap kami lekat-lekat.  Asing dimata mereka.
“Apa kakak punya orangtua penyayang? Orangtua yang tidak akan pernah membuang kalian dengan amat tega?” Satu anak laki-laki berumur tiga belas tahun mulai melempar pertanyaan.
Pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Tapi, tidak untuk kali ini. Pertanyaan itu bagaikan menikam kami dengan sebuah anak panah terbidas kedalam ulu hati kami. Memang sekali anggukan telah dapat menjawabnya, tapi itu amatlah sulit bagi kami. Kalimat jawaban saja harus tertahan didalam kerongkongan. Tak berhasil meluncur dengan mudah dari bibir kami.
Kakakku Karen memang mudah sekali mencekeram situasi percakapan, tapi kali ini benar-benar nihil. Terpakau. Jawaban macam apa yang diinginkan mereka? Jawaban yang tidak mengiris sakit hati mereka-mereka.
“Mau bermain?” Karen langsung mengambilalih arah pembicaraan.
Anak-anak lainnya dengan mudah melupakan pertanyaan yang baru saja membuat suasana kaku itu. Tapi, anak laki-laki disampingku benar-benar tidak tertarik untuk bergabung dan bermain dengan mereka. Menggurat kesedihan diwajah lagi walaupun berusaha ditutupinya.
“Kau tidak mau bermain dengan teman-teman kau?” Tanya hati-hati.
Anak laki-laki itu mengangkat wajah. Menatapku datar. “Apa kalau aku telah bermain dengan mereka langit akan melahirkan aku kembali? Melahirkanku dari rahim seorang ibu yang tidak tega membuang darah daging mereka?” pertanyaan yang mencekeram kuat langsung membuatku terperangah. Tak berkutik.
Pemikiran macam apa ini? Dengusku dalam hati berkali.
“Seumur hidupku, aku hanya berharap bahwa Tuhan bisa melahirkanku kembali kedalam dunia ini dari rahim seorang ibu yang benar-benar menyayangi darah daging mereka. Bahkan aku pun telah mengaramkan rasa penasaranku untuk mencaritahu siapa sosok ayahku. Pun pada langit aku selalu mengharapkan jika aku telah lahir dari rahim seorang ibu yang tidak jahat, picik, bergajulan. Karena semakin aku mencaritahu mereka dan mengharapkan kebaikan, perasaan itu akan semakin menikamku lebih rancung bagaikan bidasan anak panah.”
Senyap.

No comments:

Post a Comment