Akhir-akhir ini berita mengenai kekerasan terhadap anak memang tengah mencuat di berbagai media massa. Bahkan kekerasan itu dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi mereka, mengkasihi mereka, dan menebar kebaikan-kebaikan lainnya. Bukannya malah mengancam nyawa mereka. Lebih parahnya lagi sebagian besar kasus kekerasan terhadap anak adalah karena ketidaksiapan orangtua untuk mengasuh anak.
Berkali-kali
pula Karen memencet remote, mengganti saluran teve karena sebagian besar
headlines berita hanya terus-terusan menayangkan kasus kekerasan dan pembunuhan
yang dilakukan oleh orangtua kandung terhadap anak-anak yang menjadi korban. Hanya
sekadar menangis minta dibelikan apa, tapi tak menolaknya dengan baik, justru
dengan tega atau mungkin kesadaran minim, para orangtua akhirnya memukul dan
melakukan tindakan kekerasan lainnya.
Bukan
hanya kasus kekerasan terhadap anak semata, persoalan lain adalah para orangtua
yang belum siap memiliki anak. Untuk kemudian, anak-anak malang tak berdosa itu
terbuang didalam bendar, pematang sawah, pinggir jalan ataupun tempat lain yang
dianggap aman untuk melakukan aksi gilanya itu.
Saya
sangat mengerti bahwa anak-anak tak berdosa yang menjadi korban keegoisan
orangtua memang sangat teriris hatinya bila mengetahui kenyataan pahit ini.
Kenyataan mengapa mereka dilahirkan dari rahim seorang ibu yang hatinya telah
mati. Rasa sayangnya telah hilang. Orang-orang yang barangkali sudah tidak
menakutkan tentang adanya hukum tertinggi yang lebih berkuasa.
Tak ada
yang bisa memilih dari rahim seorang wanita mana anak-anak itu. Tapi, satu-dua
dari anak-anak yang menghuni sebuah panti pernah berkali bertanya pada langit.
“Apa hidup ini adil untuknya?” Langit tak bergeming. Tak memberikan jawaban
tepat yang bisa menjelaskan kehidupan yang amat berat diterimanya.
Maka
tanyakanlah pada miliaran manusia yang menjadi penerus kehidupan sejak ribuan
tahun lalu “Jika kalian diberikan kesempatan untuk memilih, wanita seperti
apakah yang berhak melahirkan kalian?” maka mereka akan berteriak “wanita yang
akan memberikan kasih sayang utuh pada anak-anak.” Sayang hanya sebuah
stereotypes yang mengatakan bahwa seorang ibu adalah orang yang melindungi
anak.
Buktinya
banyak kekerasan yang terjadi pada anak berasal dari orangtua KANDUNG mereka.
Pembuangan
bayi-bayi tak berdosa tersebut tak ubahnya berasal dari pergaulan yang semakin
keblabasan bebasnya. Bolehlah, mereka meniru orang-orang barat. Tapi, kasus
pembuangan bayi-bayi tak berdosa? Ya Tuhan, kenapa Kau menciptakan orangtua
yang seperti itu? Orangtua yang akan membuat hidup anak-anak tak berdosa itu
akan dipenuhi oleh pertanyaan.
“Sial,
tidakkah setiap hari berita-berita ini tidak menyajikan kekerasan yang
dilakukan oleh orangtua jahat?” Karen mendengus marah.
“Bisa!
Kalau para orangtua jahat itu dihilangkan dari dunia ini. Mudah bukan urusan
setelah itu ? Berita nasional tidak akan dipenuhi oleh kekerasan terhadap
anak lagi. Tapi setidaknya kemungkinan besar berita akan diisi oleh intrik
politik yang semakin membingungkan. Membuat lelah dimata.” ujarku setengah
bergurau.
Mungkin
jalan itu memang dianggap para orangtua jahat sebagai jalan terbaik untuk
mereka. Keliru sekali. Justru mereka akan menambah beban pikiran anak-anak tak
berdosa dimasa mendatang. Pergolakan batin yang menikamnya begitu lengket
akibat pertanyaan tentang siapa orangtua mereka.
Kumparan
awan menghias langit biru. Beberapa kali menyaput mentari. Membuat sejuk
sejenak. Ah tidak juga, bahkan kami tengah kepanasan menyimak anak-anak yang
tengah nangkring di bahu jalan. Mencari orang-orang yang mau berbelas kasih
dengan mereka. Tapi, lebih banyak yang membuang mereka. Barangkali mereka
terlanjur sebal saat menerka-nerka kenapa orangtua mereka tega membiarkan
mereka mencari belas kasih dari banyak orang.
Saya
benar-benar tidak tahu kenapa perasaanku kali ini berbicara bahwa aku harus
mengunjungi panti asuhan di kota. Tempat para anak-anak kurang beruntung
tertampung. Syukur-syukur mereka memiliki pengasuh yang aduhai baiknya, pasti
mereka akan dengan cepat melupakan kenyataan pahit yang ada diseperlintasan
kehidupan mereka. Lagi-lagi, kenapa langit benar-benar tidak membumihanguskan
para orangtua jahat itu? Orangtua yang dengan tega membuang bayi tak berdosa
dan masih kedinginan berada didunia. Membutuhkan rengkuhan hangat. Bukankah
beres sudah bilamana langit menghilangkan mereka dari dunia ini? Maka
berbahagialah anak-anak itu karena memiliki orangtua yang amat baik dan
melindungi mereka selamanya.
Karen
dan Saya, memang belum pernah sekalipun mendatangi panti itu. Hanya sekilas
terlihat dijalan. Hanya lewat. Tak pernah mampir sekalipun. Pun dengan Karen,
tiba-tiba hatinya juga mengatakan bahwa ia harus mengunjungi anak-anak panti.
Anak-anak yang kurang beruntung. Satu-dua barangkali, panti itu menampung
anak-anak yang masih melihat orangtua mereka hingga takdir pahit itu memisahkan
mereka. Selebihnya panti itu menampung anak-anak yang dibuang oleh para
orangtua yang hatinya telah mati. Menggurat kesedihan setiap malam dalam
kesendirian.
Saling bertanya
pada anak-anak lain “Apakah kalian termasuk anak-anak yang menjadi korban
keegoisan orangtua?”
Anak
laki-laki yang tengah menjejer mobil-mobilan itu seharusnya memang lebih cocok
menggurat aura wajah bahagia, tapi lihatlah, tangannya memang tengah memainkan
asyik mobil-mobilan tersebut. Tapi wajahnya tidak bisa berbohong bahwa dia
benar-benar terjerat kesedihan yang mendalam. Kantung mata yang semakin
terlihat jelas dikedua mata mereka.
Karen
mendekati. Mensejajari posisi duduk anak laki-laki tersebut.
“Hai, apa
kami boleh duduk disini?” Karen mulai bertanya pelan.
Anak
laki-laki itu hanya menatap datar. Tanpa bersuara sedikitpun. Saya menarik
napas dalam. Lebih-lebih karena tidak kuat melihat pemandangan menggetirkan
diwajah anak laki-laki ini.
Anak-anak
lainnya langsung mengerumuni kami bagaikan orang asing. Menatap kami
lekat-lekat. Asing dimata mereka.
“Apa
kakak punya orangtua penyayang? Orangtua yang tidak akan pernah membuang kalian
dengan amat tega?” Satu anak laki-laki berumur tiga belas tahun mulai melempar
pertanyaan.
Pertanyaan
yang mudah untuk dijawab. Tapi, tidak untuk kali ini. Pertanyaan itu bagaikan
menikam kami dengan sebuah anak panah terbidas kedalam ulu hati kami. Memang
sekali anggukan telah dapat menjawabnya, tapi itu amatlah sulit bagi kami.
Kalimat jawaban saja harus tertahan didalam kerongkongan. Tak berhasil meluncur
dengan mudah dari bibir kami.
Kakakku
Karen memang mudah sekali mencekeram situasi percakapan, tapi kali ini
benar-benar nihil. Terpakau. Jawaban macam apa yang diinginkan mereka? Jawaban
yang tidak mengiris sakit hati mereka-mereka.
“Mau
bermain?” Karen langsung mengambilalih arah pembicaraan.
Anak-anak
lainnya dengan mudah melupakan pertanyaan yang baru saja membuat suasana kaku
itu. Tapi, anak laki-laki disampingku benar-benar tidak tertarik untuk
bergabung dan bermain dengan mereka. Menggurat kesedihan diwajah lagi walaupun
berusaha ditutupinya.
“Kau
tidak mau bermain dengan teman-teman kau?” Tanya hati-hati.
Anak
laki-laki itu mengangkat wajah. Menatapku datar. “Apa kalau aku telah bermain
dengan mereka langit akan melahirkan aku kembali? Melahirkanku dari rahim
seorang ibu yang tidak tega membuang darah daging mereka?” pertanyaan yang
mencekeram kuat langsung membuatku terperangah. Tak berkutik.
Pemikiran
macam apa ini? Dengusku dalam hati berkali.
“Seumur
hidupku, aku hanya berharap bahwa Tuhan bisa melahirkanku kembali kedalam dunia
ini dari rahim seorang ibu yang benar-benar menyayangi darah daging mereka.
Bahkan aku pun telah mengaramkan rasa penasaranku untuk mencaritahu siapa sosok
ayahku. Pun pada langit aku selalu mengharapkan jika aku telah lahir dari rahim
seorang ibu yang tidak jahat, picik, bergajulan. Karena semakin aku mencaritahu
mereka dan mengharapkan kebaikan, perasaan itu akan semakin menikamku lebih
rancung bagaikan bidasan anak panah.”
Senyap.
No comments:
Post a Comment