Itu adalah hari-hari menjelang Hari Raya. Setengah hari yang aku lalui adalah kesucian dan setengah hari lainnya mungkin akan terlihat biasa saja tidak ada yang spesial. Aku merenung beberapa saat diantara bingkai jendela dengan akses kayu jati yang khas tanpa terplitur.
Menatap langit biru dihari-hari terakhir bulan Ramadhan. Aku akui terkadang aku merasa ingin Ramadan cepat selesai sehingga aku mampu menyantap banyak hidangan setelah itu. Aku terkekeh dalam hati. Bodoh sekali diriku yang hanya memikirkan Ramadan cepat selesai namun sama sekali tidak pernah mengerti makna ramadan yang sebenarnya.
Seharusnya aku lebih banyak melakukan ibadah dan kebaikan lainnya di saat ramadan bukannya memikirkan kapan ramadan selesai. Aku bergegas beranjak dari balik jendela. Merebahkan tubuhku sejenak dan memejamkan mataku seketika.
Beberapa saat kemudian, aku meraih ponsel dan mengeceknya. Yah, karena aku tidak ada pekerjaan dan tidak ada kawan berbicara. Kakakku bekerja diluar kota dan paling pulang ketika H-1 lebaran. Kadang aku pun menggerutu kenapa boss ia bekerja memberikan waktu yang cukup sempit. Aku kembali terpaku pada layar ponsel.
Membuka aplikasi chatting. Ternyata sudah ada ratusan lebih chat yang masuk di grup alumni SMA. Aku sama sekali tidak membacanya dan hanya menyekroll sampai ke bawah. Malas juga disuruh baca percakapan yang isinya tidak penting dan basa-basi. Sekilas aku membaca, ada salah satu anggota yang berencana mengadakan acara saat lebaran.
Aku mendengus sedikit kesal. "Dasar orang-orang yang kurang kerjaan"
Menutup kembali ponsel dan segera membisukan notifikasi grup agar tidak terlihat dan memenuhi status bar ponselku. Aku kembali merebahkan tubuhku. Kembali terbawa oleh masa-masa ketika masuk SMA dan semua hal yang aku lakukan saat itu.
Tak terasa butir air mata perlahan memenuhi wajahku dan entahlah setiap kali aku mengenang masa-masa putih biru aku selalu ingin menangis. Bahkan saat perpisahan dulu, aku sempat menangis bersama satu sahabatku. Terlihat cengeng dan itu lah alasan mengapa aku jarang sekali melihat film-film atau acara tv yang mengupas kesedihan. Aku tak suka seseorang memberikanku label sebagai orang cengeng.
Hari-hari menjelang Lebaran pun semakin dekat. Aku kembali membuka chatt di grup SMA. Salah seorang anggota grup menyebutkan namaku disana. Ia adalah Shawn. Teman akrabku sewaktu SMA dan karena bangkunya juga dibelakangku.
Aku membalasnya dengan sekadar memberikan emoji senyum saja karena aku malas meladeninya. Tau sendiri bagaimana ketika cowok diladenin bukan? Justru akan semakin kemana-mana.Anggota lain malam memberikan sorakan kepadaku.
Aku kembali melepaskan ponsel dari genggaman tangan. Meletakkan diatas kasur dan keluar.
Aku kembali melepaskan ponsel dari genggaman tangan. Meletakkan diatas kasur dan keluar.
***
To be continued!
Sore itu hujan.
Aku menyingkirkan horden biru ruangan di kantor aku bekerja. Belum pulang. Hujan seakan tak mau minggir sejak siang.
Menatap jauh, horison yang bahkan tak tertangkap di pandanganku. Aku mulai bosan dengan keadaan yang seperti ini. Dalam hidupku pertanyaan "apa tujuan hidupku?" Masih melekat di relung-relung pikiranku.
Aku menguap lebar tanpa menutupnya. Bodoh amat jika anda yang menyaksikan kebiasaan burukku tersebut.
"Kamu sedang apa?" Suara yang amat aku kenali memenuhi dindin telingaku. Aku masih belum menoleh. Malas.
"Kau tak mendengarku?" Itu Luke. Calon pewaris perusahaan dimana aku bekerja. Keturunan Indonesia, Australia dan Jepang, tidak heran jika Luke memiliki paras yang rupawan. Bisa dibilang menjadi penyegar di tengah hiruk pikuk kantor yang menyebalkan.
Mungkin tidak untukku. Aku bukan mereka yang mengidolaki pria dengan rambut pirang tersebut.
Pandangan kami bertemu beberapa saat. Baiklah aku segera mengalihkannya. Memperhatikan sekeliling. Mencari spot untuk diperhatikan.
"Hujan mungkin akan awet hingga petang menjelang" ujarnya dengan logat Indonesia yang belum fasih. Maklum, dia baru sekitar 2 tahun tinggal di Ibu Kota.
Aku mengangguk sembari semakin khawatir. Pria berjas hitam itu melangkah menjauhiku dengan posisi berdiri yang masih sama. Kakinya yang panjang seketika pudar di pandanganku.
Pukul 17.20 hujan sudah mulai hilang. Sedang sejak 30 menit, aku telah menunggu di depan pintu masuk kantor. Menunggu taksi yang tak kunjung datang.
"Belum pulang!" Suara yang tak asing itu kembali muncul.
"Belum" jawabku singkat. Tak berani menatapnya.
Beberapa saat kemudian, sedan hitam melesat perlahan di depanku. Itu mobil Luke yang dibawa oleh drivernya.
Sesaat kemudian, tepukan lembut melesat di pundakku. "Naiklah! Tidak akan ada taksi yang akan lewat. Jalur di sebelah timur telah digenangi oleh banjir."
Sialan! Gumamku dalam hati.
Aku belum menjawab. Justru mempertanyakan apakah yang dikatakan oleh Luke benar? Jika iya, habislah aku.
"Percayalah!" Luke kembali meyakinkanku.
Tapi perasaan tidak enak justru muncul. Aku takut menjadi pergunjingan seisi kantor karena satu mobil dengan anak pemilik perusahaan. Oh that shit!
Tiba-tiba Luke menggeret tanganku untuk segera masuk. Aku tak bisa menolaknya. Genggaman tangannya terlalu kuat untuk seorang wanita sepertiku.
Baiklah. Aku harap sekali saja aku berada didalam satu mobil dengannya. Mobil melesat dengan gesit menjauhi kantor dan menerjang jalanan ibu Kota yang tidak terlalu padat.
Baiklah, tak ada pembicaraan yang dimulai oleh diriku. Luke selalu memulainya terlebih dahulu dan dia suka bercerita banyak. Membuatku harus membuka mulut juga. Tapi jika boleh jujur, itu adalah momen yang menarik dengan percakapan menarik pula.
Aku tidak akan pernah mengharapkan lebih.
***
Aku kembali mengecek ponsel. Notifilasi chat grup telah memenuhi status bar ponsel. Grup sekolah yang kembali ramai saat Ramadan.
Aku tidak membacanya. Malas. Atau mungkin aku akan membacanya besok jika sedang mood.
Aku scroll layar ponsel sedikit ke bawah. Ada pesan yang membuatku senang. Mungkin seperti itulah deskripsinya
"Kau sedang sibuk?" Itu pesan dari Shawn yang aku baca. Aku terdiam sejenak. Kemudian, jemari mulai mengetikkan beberapa kalimat.
"Sudah tidak!"
"Kalau begitu aku tidak menggagumu ya kan?"
"Tidak juga sih. Ada apa?"
"Tidak tahu. Akhir-akhir ini aku lelah. Apa mungkin karena aku kangen dengan yang membaca pesan ini ya!" Shawn mulai menggombal.
Shawn teman baikku sewaktu SMA dan aku sudah tidak kaget dengan semua lawakan yang ia buat. Dia baik, sebenarnya agak pendiam juga.
Dia bekerja di kota Semarang. Cukup Jauh untuk diriku yang berada di Ibu Kota. Ya, itu karena keluarga kami pindah ke Ibu Kota.
Sebenarnya, jika ada pilihan, mungkin aku juga akan menetap di kota kelahiranku. Kota Semarang. Tapi aku bisa apa? Kami semua harus menuruti perintah papa.
"Dasar! Kalau lelah ya istirahatlah." Jawabku dingin.
"Apa kau tidak rindu denganku?"
"Hahaha nanti juga akan bertemu saat aku di Semarang."
Percakapan kami semakin jauh. Mulai mengobrolkan hal yang sama sekali tidak penting, membicarakan artis idola hingga kesibukan saat ini.
Ya kalau boleh jujur aku rindu dia. Aku menatap langit senja dari jendela kamarku. Termangu beberapa saat. Kenapa aku bisa mengatakan hal tersebut. Bodoh.
***
Semejak itu, Shawn lebih sering mengirimkanku pesan. Lebih sering menanyakan kabarku, apa yang aku lakukan hingga semua percakapan mengenai rasa rindunya.
Entahlah, aku semakin tidak mengerti. Aku tahu dan cukup tahu, aku bukan siapa-siapa selain pernah menjadi bagian dari keindahan masa putih abu-abu.
Dan Luke, kami justru semakin dekat. Dan semakin aku tak menyukai keadaan seperti ini.
Aku mulai merasakan tubuhku tiba-tiba ringan dengan mata mulai tertutup.
Aku tidak membacanya. Malas. Atau mungkin aku akan membacanya besok jika sedang mood.
Aku scroll layar ponsel sedikit ke bawah. Ada pesan yang membuatku senang. Mungkin seperti itulah deskripsinya
"Kau sedang sibuk?" Itu pesan dari Shawn yang aku baca. Aku terdiam sejenak. Kemudian, jemari mulai mengetikkan beberapa kalimat.
"Sudah tidak!"
"Kalau begitu aku tidak menggagumu ya kan?"
"Tidak juga sih. Ada apa?"
"Tidak tahu. Akhir-akhir ini aku lelah. Apa mungkin karena aku kangen dengan yang membaca pesan ini ya!" Shawn mulai menggombal.
Shawn teman baikku sewaktu SMA dan aku sudah tidak kaget dengan semua lawakan yang ia buat. Dia baik, sebenarnya agak pendiam juga.
Dia bekerja di kota Semarang. Cukup Jauh untuk diriku yang berada di Ibu Kota. Ya, itu karena keluarga kami pindah ke Ibu Kota.
Sebenarnya, jika ada pilihan, mungkin aku juga akan menetap di kota kelahiranku. Kota Semarang. Tapi aku bisa apa? Kami semua harus menuruti perintah papa.
"Dasar! Kalau lelah ya istirahatlah." Jawabku dingin.
"Apa kau tidak rindu denganku?"
"Hahaha nanti juga akan bertemu saat aku di Semarang."
Percakapan kami semakin jauh. Mulai mengobrolkan hal yang sama sekali tidak penting, membicarakan artis idola hingga kesibukan saat ini.
Ya kalau boleh jujur aku rindu dia. Aku menatap langit senja dari jendela kamarku. Termangu beberapa saat. Kenapa aku bisa mengatakan hal tersebut. Bodoh.
***
Semejak itu, Shawn lebih sering mengirimkanku pesan. Lebih sering menanyakan kabarku, apa yang aku lakukan hingga semua percakapan mengenai rasa rindunya.
Entahlah, aku semakin tidak mengerti. Aku tahu dan cukup tahu, aku bukan siapa-siapa selain pernah menjadi bagian dari keindahan masa putih abu-abu.
Dan Luke, kami justru semakin dekat. Dan semakin aku tak menyukai keadaan seperti ini.
Aku mulai merasakan tubuhku tiba-tiba ringan dengan mata mulai tertutup.
To be continued!
No comments:
Post a Comment